Tradisi "Free Love" Perempuan Suku Mosuo Lebih Membahagiakan, Meski Dituding Free Sex

Di perbatasan China dan Tibet, kini masih ada sekelompok masyarakat etnik penganut matriakh dan pelaku poliandri yang dilegalkan. Etnik yang tergolong minoritas di China ini dikenal dengan sebutan Suku Mosuo. Kultur suku ini menarik perhatian dunia karena peran perempuan lebih dominan ketimbang laki-laki. Dominasi perempuan Suku Mosuo ini sampai menukik ke dalam tingkat penentuan pasangan cintanya; apakah akan berganti-ganti lelaki setiap malam atau hanya satu pasangan untuk seumur hidup.

Budaya Suku Mosuo
Tempat tinggal Suku Mosuo hanya berada di sekitar wilayah Danau Lugu berketinggian 2,700 meter di atas permukaan laut. Danau Lugu dikelilingi oleh hutan lebat dan gunung-gunung. Budaya masyarakatnya  masih berpegang teguh pada adat turun temurun selama ribuan tahun. Tapi penduduk Mosuo juga penganut salah satu sekte agama Budha yang menganggap Lama sebagai pimpinan tertinggi.

Uniknya,  dalam tradisi Suku Mosuo, peran perempuan lebih dominan. Selain berperan sebagai kepala rumah tangga, kaum perempuan juga mengatur segala urusan domestik. Biasanya di setiap keluarga terdiri dari sepuluh anggota, walau tidak jarang satu keluarga terdiri dari 20 atau 30 orang.
Sang kepala keluarga merupakan wanita yang sangat dihormati dan dituakan oleh segenap anggota keluarga. Seluruh keputusan yang berurusan dengan keluarga di tangan sang ibu kepala rumah tangga.

Jumlah keseluruhan masyarakat Suku Mosuo sekitar 50 ribu orang dan semua tinggal di sekitar Danau Lugu. Rumah mereka sanggat khas dan hampir di setiap rumah mereka menyediakan ruangan khusus sebagai balai pertemuan keluarga atau juga berfungsi untuk ritual-ritual agama. Rata-rata rumah Suku Mosuo beratap rendah dan tidak ada ventilasi sama sekali sehingga memberi kesan sangat akrab dan keintiman antar keluarga sangat terjaga .

Salah satu cahaya yang masuk ke dalam rumah berada di sebuah kamar khusus dimana sebuah perapian selalu menyala dan sebuah altar pemujaan berada. Altar berupa batu ini merupakan simbol leluhur sebuah keluarga. Dipercaya arwah para leluhur masih menempati batu tersebut sehingga api harus tetap menyala untuk menghangatkan mereka para arwah. Api yang dibiarkan terus menyala juga sebagai lambang kesejahteraan suatu keluarga.

Perkawinan Free Love Suku Mosuo
Kehidupan perkawinan Suku Mosuo sangat unik dan masih memegang tradisi turun temurun.  Ada tiga jenis perkawinan diterapkan, yakni; Sistem Axia (visiting marriage), axia cohabitation dan monogamy.

Monogamy hanya dilaksanakan masyarakat urban Suku Mosuo. Mereka yang melakukan pernikahan dengan sistem monogamy karena sudah terpengaruh oleh kaum urban yang datang ke daerah tersebut. Sementara itu, warga Mosuo asli lainnya masih mempraktekkan pernikahan Axia marriage terutama di daerah Yongning dan danau Lugu.

Perkawinan Axia adalah perkawinan yang bersifat bebas tanpa ikatan. Kaum lelaki Mosuo menyebut para perempuan sebagai Axia, yakni : teman intim. Sedang para perempuan menyebut kaum lelaki  sebagai Azhu, yakni; kekasih. Dalam tradisi ini tidak ada upacara pernikahan, sehingga hubungan pria-wanita tidak terikat oleh aturan pernikahan. Artinya, mereka bisa bercinta dengan siapa saja yang disukainya tanpa harus melalui proses pernikahan. Karena itu, pasangan bercinta dapat berganti-ganti sesuai situasi kondisi yang disukai masing-masing pribadi. Sedang pria dan perempuan yang menjalin cinta tidak tinggal serumah, tapi tetap tinggal di rumah keluarga masing-masing.

Para gadis yang sudah dianggap dewasa (akil balig) biasanya mempunyai seorang Azhu. Mereka mempunyai kamar tersendiri, tempat untuk bercinta dengan kekasih bila berkunjung setiap saat. Hanya saja, kunjungan kekasih ini sangat dirahasikan dan hanya dilakukan pada malam hari. Bila kekasih berkunjung, sebelum atahari terbit, kekasih harus pulang meninggalkan rumah sang gadis.

Jika seorang gadis sudah mulai bosan dan tidak ingin melanjutkan hubungan dengan kekasihnya, akan memberikan tanda penolakan, yakni: menutup pintu kamarnya atau pintu jendela. Bila jendela dan pintu Axia tidak dibuka pada malam hari, maka Azhu (pria) akan tahu diri dan akan berhenti mengunjungi rumah gadis. Sehingga jalinan cinta mereka bisa bebas berganti. Namun, hubungan cinta mereka lebih bersifat mutual dan kasih sayang. Sementara keinginan atau hasrat seorang perempuan sangat dihormati.

Jika hasil dari cohabitation ini menghasilkan anak, maka anak tersebut akan menjadi milik keluarga sang ibu dan mewarisi nama keluarga si ibu. Anak ini dibesarkan dan diasuh oleh keluarga besar  gadis dan tidak diperkenalkan dengan ayah kandungnya sampai menjelang upacara akil baliq.

Bila anak perempuan sudah dewasa (akil balig) berumur 13 tahun, akan digelar upacara khusus. Rritual ini dilakukan saat tahun baru. Pada hari yang istimewa ini, sang gadis diberi pakaian indah dengan perhiasan-perhiasan tradisional. Upacara ini menandai bahwa seorang gadis sudah dewasa. Dengan kata lain, sang gadis sudah boleh memiliki seorang Azhu atau kekasih sebanyak yang dia inginkan, bebas memilih tanpa betasan moral apapun. Sesuai tradisi, para perempuan Mosuo memiliki kebebasan memilih pasangan dan boleh berganti-ganti pasangan seksual. Adat istiadat ini sudah turun temurun selama ribuan tahun. Ketika sebagian besar masyarakat di China menyia-siakan anak perempuan, Mosuo menempatkan perempuan di kursi tertinggi.

Ketika seorang gadis sudah menjalani upacara akil balik, dia akan diberikan sebuah kamar terpisah. Dan ketika malam datang, dia akan siap menerima kunjungan sang kekasih, Dulu dengan bahasa isyarat seperti ‘meremas’ khusus salah satu jari-jari di permukaan tangan menunjukkan bahwa lelaki tersebut boleh mengunjungi sang gadis.

Dominasi Perempuan dalam Penentuan Pasangan
Kalau dalam masyarakat China umumnya,  kaum  perempuan diperlakukan sebagai masyaraakt kelas dua, maka perempuan Mosuo ditempatkan pada kelas teratas. Bahkan, mereka bisa berganti-ganti pasangan setiap malam. Pihak perempuan yang berperan menentukan keputusan, apakah pasangannya akan langgeng selamanya atau akan berganti setiap malam. Sementara peran kaum lelaki suku ini lebih lemah dan cenderung lebih pasive dari perempuan. Tugas para lelaki adalah mencari ikan di Danau Lugu. Sedang urusan domestik lainnya adalah urusan perempuan.




Menurut pengakuan salah seorang nelayan Ai Le Shan Ma 38 tahun, hubungan walking marriage seperti ini mengurangi stress perkawinan. Sehingga perkawinan model walking marriage sangat menguntungkan. Menurut pengakuan Shan Ma, dia atau lelaki Mosuo lainnya cukup happy hanya bisa mengunjungi sang ‘istri’ pada malam hari, dia bisa datang kapan saja sesuai dengan suasana hatinya. Semua bebas tanpa beban. Jika terjadi ketidak cocokan antar pasangan, tiada sakit hati, masing-masing akan mencari pasangan lainnya.

Mosuo tidak mengenal istilah zina, anak haram, perawan, janda, rasa cemburu , single mother ataupun monogami. Alasan cukup simple, istilah ini memang tidak ada dan diada-adakan. “Danau Lugu merupakan tanah of free love”, tulis seorang explorer Russia Peter Goullart dalam bukunya : Forgotten Kingdom.

Perempuan Asli Suku Mosuo Berani Melamar Nicholas Sarvosky
Yang Erche Namu
Yang Erche Namu, perempuan asli Suku Mosuo, ada yang meniti karir jadi model dan menjadi entertainer hingga menetap di Beijing. Namu memulai karirnya sebagai pemenang kontes nyanyi nasional di China, namanya kemduian berkibar di dunia hiburan dunia dan pernah tinggal di berbagai negara seperti New York, San Fransisco dan Canada. Saat ini Namu menikah dengan salah seorang diplomat Norwegia. Konon Namu terang-terangan pernah melamar Presiden Perancis Nicholas Sarvosky sebelum Nicholas menikah dengan Carla Bruni.

Dalam bukunya "Leaving Mother Lake",  Namu terkesan dengan kultur sekitar Danau Lugu. Dia menceritakan secara detail mistik adat istiadat Musuo, termasuk upacara akil baliqnya dan saat pertama menantikan sang Azhu, walau kemudian dia menolak Azhu dari lelaki Mosuo, “I don’t like them, they smell so bad,” alasannya.

Bagaimanapun juga kultur masyarakat Mosuo yang seringkali di cap sebagai tempat dimana para perempuan melakukan free sex dan dianggap legal , faktor ini sering di-high light oleh para operator tourism dan agen wisata untuk menarik para wisatawan khususnya kaum Adam untuk mengunjungi Danau Lugu. Tidak dapat dipungkiri seperti di setiap aspek turisme selalu ada segelintir orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dan salah satunya adalah menjadikan sebagai ajang prostitusi, dan Danau Lugu tidak lepas dari masalah ini, walau ironisnya para prostitute tersebut sebenarnya bukan gadis Mosuo asli namun tidak lebih merupakan kaum pendatang yang berlaku seolah-olah mereka adalah gadis Mosuo.

Selain masyarakat Mosuo, ada lagi suku minortitas yang mempraktekkan Polyandry, antara lain yaitu suku Nyinba, sebuah suku ber-etnik Tibet dan berlokasi di Barat daya Nepal. Suku Nyinba mempraktekkan fraternal polyandry. Setiap lelaki yang mempunyai saudara laki-laki menikah secara poliandry dengan perempuan yang sama dan walau demikian hubungan antar saudara tidak menjadi terganggu. Konsep cemburu tidak dikenal. Hanya ikatan kebersamaan total dan rela berbagi. Ladog, salah satu komuniti Tibet yang tergolong suku yang makmur, para perempuan umumnya menikah dengan lelaki bersaudara. (Levine 1987). Walau demikian di Ladog, 34.6% perempuan menikah secara monogamy. Dan sekitar beberapa persen yang menikah dengan beberapa lelaki dalam satu keluarga.
Previous Post Next Post