HIV-AIDS dan Perilaku Seks Suku Pedalaman di Papua (2)

Bruce M. Knauft (1993: 51-53) mengemukakan bahwa  hubungan tidak sah dalam bentuk persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah atau penerimaan  upacara heteroseksual itu nyata ada pada  semua wilayah  kebudayaan Papua di daerah pantai selatan New Guinea (Papua). Kebanyakan dari praktek  heteroseksual  sangat tinggi dalam kegiatan upacara. Seperti apakah bentuknya? Berikut uraian lengkapnya:

       
Di antara orang  Purari,  persetubuhan sebelum menikah   selalu diupacarakan secara rutin  dan inti dari upacara ini yaitu  pengelompokkan  antara laki dan perempuan. Upacara heteroseksualitas, khusus dinyatakan dalam  keberhasilan mengayau  dan penerimaan gelang tangan kerang  dari pasangan seksual  perempuan (Williams 1924:211-214; Holmes 1924:172,175)

Di kalangan orang Kiwai, persetubuhan ditegaskan  untuk   menghasilkan cairan seksual guna meningkatkan  kesuburan. Persetubuhan dilakukan  dengan  siapa  saja.   Dalam hubungan seksual, yang pada initinya lebih penting dalam ritual kesuburan, mouguru, dan  digabungkan dengan peristiwa  lain yaitu dengan  pengelompokan heteroseksual (Landtman 1927: ch.24). Upacara persetubuhan  juga dilakukan oleh  suami  dan isteri yang tua  guna menghasilkan cairan seksual  di dalam kepentingan    spiritual  yang  lain.
Pada orang Marind, persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah  banyak terdapat pada  upacara,  beberapa pesta adat besar untuk maksud meningkatkan  kesuburan (van Baal 1966: 808-818). Beberapa dari  upacara seksual ini  dilakukan oleh   lekaki yang sudah menikah  dan ibu-ibu, bahkan dapat berhubungan seksual dengan  laki-laki yang memperoleh keberhasilan  dengan satu atau dua orang perempuan muda.

Laporan dari A  South  Pacific Commission (1952-1953, 1955) menyatakan bahwa  frekuensi yang terbesar dari upacara heteroseksualitas  mengakibatkan   adanya suatu tingkatan  yang tinggi  dalam   sterilisasi, terutama pada  wanita Marind  di jaman sebelum kolonial (lihat Vogel dan Richens 1989). Orang Marind, biasanya sebelum menikah, laki dan perempuan tinggal terpisah  pada rumah laki dan rumah perempuan. Setelah dewasa, mereka mulai mengenal, dalam suatu pesta yang berhubungan dengan upacara seksual. Hal ini selalu dikaitkan dengan konsep religius, karena  untuk meningkatkan  kesuburan adalah sangat pentin. Dalam segala hal yang berhubungan dengan  kesuburan, kehidupan dalam perkawinan, membuka kebun, awal dari  kegiatan   pengayauan,  maka   sebuah   pesta   yang   berkaitan dengan hubungan seksual selalu dilakukan. Upacara hubungan seks (otiv bombari) dilakukan secara religius. Dalam peristiwa perkawinan, biasanya  calon penganten perempuan harus berhubungan seks terlebih dahulu dengan  sepuluh  laki-laki dari  kerabat suaminya sebelum diserahkan kepada suaminya.  Hal  ini  dikaitkan dengan konsep  kesuburan, yaitu harus diberikan “cairan sperma” agar wanita tersebut  subur (Overweel, 1993:15)

Di antara  penduduk Trans Fly,  upacara homoseksual, biasanya dilakukan dengan menukarkan istrinya  kepada laki-laki  lain,  itu  menjadi  kenyataan  (Williams 1936: 24,159-160). Pada orang Kolepom, hubungan seksual  dalam upacara, biasanya   antara seorang laki yang sudah menikah dengan seorang perempuan puber yang memasuki masa   dewasa dalam suatu inisiasi.  Hubungan seksual sebagai suatu pelengkap dalam upacara inisiasi untuk membuktikan  bahwa ia telah dewasa. Sedangkan hubungan seks secara  heteroseksual dapat dilakukan dengan siapa saja diantara wanita yang telah menikah, setelah  mengakhiri suatu  kegiatan   pesta kematian, dan   kegiatan  mengayau  (Serpenti 1968,1977, 1984).


Di kalangan orang Asmat, terjadi   penukaran istri dengan lelaki yang disenangi, kadang-kadang dalam jumlah  kecil pada suatu upacara. Secara umum persetubuhan secara heteroseksual   bebas dengan wanita pilihannya,  yang menghias  dirinya dalam mengikuti kegiatan mengayau. Di lain pihak hubungan seks terjadi  setelah  laki-laki    bebas  dari   rumah  laki-laki,  dan  pada  saat diadakan pengukiran patung nenek moyang (bis), (Zegwaard dan Boelaars 1982: 21-23; Eyde 1967: 205-210; Schneebaum 1988: 83; Kuruwaip 1984: 14; Sowada 1961: 95; van Kampen 1956:    73-76).

Berdasar alasan-alasan yang diuraikan di atas, Dumatubun (Staf Dosen Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih) melakukan kajian tentang Pengetahuan dan Perilaku Seksual Marind-Anim. Kajiannya itu bertujuan memberikan suatu deskripsi dan penjelasan tentang sistem pengetahuan dan perilaku seksual yang ada pada suku bangsa Marind-Anim berkenaan dengan berkembangnya  penularan PMS  dan  HIV/AIDS yang  semakin tinggi di Papua khususnya di kabupaten Merauke. (Bersambung)
Previous Post Next Post