Perilaku seks suku pedalaman Papua 1

Jika bicara masalah HIV/AIDS ( Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immune Deficiency Syndrome), Provinsi Papua sering menjadi sorotan. Provinsi di ujung timur Indonesia itu tergolong memiliki kasus HIV-AIDS tertinggi di Indonesia. Salah satunya penyebab HIV-AIDS adalah adanya perilaku seks yang lebih dari satu pasangan. Pertanyaannya adalah, kasus HIV-AIDS di Papua itu terkait adanya budaya seks bebas di kalangan masyarakat setempat? Perilaku seks orang Papua rupanya sudah menjadi bahan kajian para ilmuan. Salah satunya adalah perilaku seks Suku Marind Anim.  Berikut rangkuman hasil kajian A.E. Dumatubun (Staf Dosen Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih). Berikut cuplikannya:


Pengetahuan dan Perilaku Seksual Marind-Anim
Di manakah Suku Marind Anim berada? Suku Marind Anim adalah salah satu suku bangsa yang tinggal di dataran luas Papua Barat bagian selatan, yakni mulai dari Selat Muli (Selat Marianne) sampai ke daerah perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini. Mereka juga tersebar di sekitar aliran sungai Buraka, Bian, Eli, Kumbe dan Maro. Daerah yang mereka diami termasuk dalam wilayah di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Ada yang berdiam di Kecamatan Okaba, Kecamatan Kimam dan Kecamatan Muting. Kondisi geografis yang mereka tempati merupakan dataran rendah bersavana dengan floranya yang mirip flora benua Australia dan dataran berawa-rawa yang ditumbuhi pohon sagu di sungai-sungai.

Ketika melakukan kajian tetang Pengetahuan dan Perilaku Seksual Marind-Anim, A.E. Dumatubun memiliki beberapa alasan. Alasan pertama didasarkan pada asumsi bahwa aspek perilaku seksual sangat erat dengan aspek budaya lainnya, sehingga pemahaman tentang kebudayaan dapat dicapai melalui pengkajian aspek pengetahuan dan perilaku seksual. Alasan yang kedua (alasan praktis), yakni belum banyak studi tentang kebudayaan Papua, khususnya  suku bangsa Marind-Anim yang menjadikan aspek pengetahuan dan perilaku seksual sebagai tema khusus dalam kajian-kajiannya. Menurut Dumatubun, pemahaman tentang aspek pengetahuan dan perilaku seksual, suku bangsa Marind-Anim sangat penting dan bisa berguna bagi penyusunan kebijakan pembangunan di bidang kesehatan, terutama didaerah-daerah yang menjadi sasaran  pengembangan kesehatan, yang berhubungan dengan penyakit  menular seksual.

Kajian Antropologi Soal Seksualitas di wilayah Selatan Papua
Kajian para ahli antropologi melihat bahwa daerah di sebelah selatan Papua terdapat masalah seksualitas, yakni sebagai pusat wilayah “homoseksual” di mana  penduduknya  dikategorikan sebagai “masyarakat homoseksual” (Feil 1987:ch.7; Lindenbaum 1984, 1987;cf. Herdt 1984a, 1991). Praktek  nyata  homoseksual  dari beberapa peristiwa  khusus  masyarakat dapat dikategorikan  sebagai tindakan  utama dari  kebiasaan, adat istiadat serta kepercayaan di  sebagian besar wilayahnya. Sebagai fakta,  sebagian besar penduduk di sebelah selatan New Guinea (Papua) termasuk masyarakatnya, dimana praktek  seks  berupa homoseksualitas  dijadikan sebagai  bagian dari upacara adat. Hal ini dapat dilihat disepanjang pantai selatan New Guinea (Papua), bahwa  upacara adat yang berhubungan dengan heteroseksual sangat merata pada  upacara homoseksualitas  atau  “boy-insemination” (Knauft 1993:80).

Suatu hasil kerja yang penting dari Gilbert Herdt (1981, 1984a, 1991, 1992) menggambarkan secara khusus tentang  adat istiadat  homoerotik pada orang Melanesia.  Ia menggambarkan bahwa homoseksualitas pada orang Melanesia  berbeda secara adat istiadat dan kepercayaan  dengan orang luar, dalam suatu penelitian   yang dilakukan mulai pada tahun 1980. Ia menemukan bahwa  hubungan seks sebelum menikah yang menjurus pada heteroseksual itu berkembang secara luas bila dibandingkan dengan orientasi hubungan seks secara homoseksual. Herdt menegaskan bahwa  kepercayaan-kepercayaan dan kegiatan nyata homoseksual dan homoerotik merupakan pusat perhatian khusus  kajian antropologi. Hal ini karena analisa penting tentang  adat istiadat serta kepercayaan orang Melanesia  telah banyak dikaji oleh ahli antropologi dalam beberapa periode yang lampau. Lebih jauh Foucault (1980a:154) dan Hence menegaskan bahwa  varian-varian dari kegiatan seksual dan hubungan  gender sebagai suatu dimensi yang besar dari  formasi  sosio-kultural. (Knauft 1993:8). Dalam analisis Bruce M. Knauft  (1993:45)  menganggap  bahwa aktivitas homoseksual laki sebagai suatu konsep termasuk dalam pandangan   perubahan kompetisi, desentralisasi kepemimpinan, perkawinan tukar yang terbatas, dan rendahnya status  perempuan.

Herdt’s (ed.1984) menegaskan bahwa inisial pada  upacara homoseksualitas di selatan New Guinea (Papua),  merupakan suatu fakta, bahwa homoseksualitas  pada orang Melanesia  sudah tertanam  dalam jangka waktu lama di dalam  kebudayaan mereka. Lindenbaum (1984:342) memposisikan masyarakat  Pegunungan Tinggi dan  dataran rendah  di New Guinea (Papua)  dengan kebudayaan Melanesia,  dimana ia kemukakan bahwa  “kelompok semen” atau “kelompok air mani” dari kebudayaan dataran rendah dan pegunungan tinggi  dalam beberapa “semen” atau “air mani” itu tidak mengisi aktivitas upacara dalam kehidupan. Ia menekankan bahwa  ”kelompok semen” atau “kelompok air mani”  dalam perilaku homoseksual laki  muncul dalam  upacara inisiasi dan  masyarakat dengan heteroseksual di belahan tengah dan barat pegunungan tinggi,  pada perubahan “air mani / semen”. (Lindenbaum 1987: 222).  

Analogi dari Schiefenhovel (1990:415) mengkategorikan  sebagai   “sperm   cultures”  atau    “budaya   sperma” seperti    pada    masyarakat Melanesia dengan bentuk praktek  upacara  homoseksualitas. Lindenbaum (1987) juga berpendapat   bahwa “masyarakat homoseksual”  ada pada   masyarakat di selatan New Guinea (Papua),  demikian pula dengan Herdt (1991: 606)  juga telah menetapkannya demikian.

Lebih jauh Herdt (1984a)  menulis  satu volume khusus tentang  “Ritualized Homosexuality in Melanesian” menempatkan suatu konsep yang lebih tepat sebagai suatu gelar  bagi  dimensi ritual tentang  praktek homoseksual. Homoseksual pada orang Melanesia digariskan sebagai kosmologi yang baik sebagai suatu  orientasi erotik , tugas  kepercayaan  kehidupan yang kuat bahwa insiminasi seks selalu mengikuti  perkembangan seorang anak laki menjadi dewasa. Praktek homoseksual selalu dilakukan bersamaan  dalam praktek ritual, khusus sebagai pelopor dalam upacara inisiasi laki-laki dalam konteks budaya keperkasaan laki, dan menjadi suatu kegiatan yang  universal dalam lingkaran kehidupan laki-laki pada Masyarakat Melanesia, khususnya juga di sebelah selatan New Guinea (Papua) (lihat Herdt 1984a, 1987a:ch.7, 1987b, 1991:pt.2).

Konsep Herdt tentang homoseksual orang Melanesia sebagai suatu upacara sangat penting, karena  terjadi suatu transmisi aktual tentang “semen” atau “air mani” dalam suatu upacara  orgasmus , dan dipertegas oleh Dundes (1976, 1978) bahwa birahi homoseksual mewujudkan  tingkah laku seksual  secara nyata. Sejauh ini  praktek homoseksual yang ada pada  “boy-insemination juga dinyatakan  sebagai  upacara homoseksual. Umumnya,  upacara homoseksual terdapat pada suku bangsa-suku bangsa di sebelah  pantai selatan New Guinea (Papua) antara Pantai Kasuari Asmat, Kolepom, Marind-Anim dan beberapa tempat di  sungai Fly (Papua Niguni/PNG) dalam (Knauft 1993: 49-50). 
(Bersambung)

Previous Post Next Post